Sama seperti buku berjudul “Politik Hukum Pemilu” karya Janedjri M. Gaffar, buku ini berisi kumpulan tulisan-tulisan terpisah yang telah dipublikasikan melalui media massa. Tulisan-tulisan yang memiliki topik bahasan serupa ditempatkan dalam satu buku, yang kemudian diberi judul “Demokrasi Konstitusional—Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945”.
Kata pengantar yang diberikan oleh Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., pada bagian awal, cukup memberikan gambaran sekaligus penilaian terhadap buku ini. Prof. Saldi Isra menyampaikan, buku “Demokrasi Konstitusional, Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945” yang ada di hadapan sidang pembaca ini adalah curahan pemikiran Janedjri M. Gaffar tentang elaborasi paham dan praktik demokrasi konstitusional setelah perubahan UUD 1945.
Sebagai sebuah buku yang berasal dari sebaran pemikiran ilmiah populer yang ditulis dalam media cetak (koran), buku ini dapat saja dinilai tidak banyak berbeda dengan buku-buku lain yang dirangkum dengan cara serupa. Namun apabila dibaca secara utuh, paling tidak buku ini memiliki lima kelebihan.
Pertama, buku ini merupakan upaya penelusuran penulis dalam menjelaskan praktik demokrasi konstitusional dalam konteks demokrasi Indonesia. Tanpa bermaksud menolak kedaulatan Tuhan, “buku kecil” ini banyak menyoroti bekerjanya kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum setelah perubahan UUD 1945.
Sebagaimana dinukilkan oleh penulis, sejak berkembangnya peradaban rasionalisme, teori kedaulatan yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia adalah kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam hal ini, yang terjadi sesungguhnya adalah penerimaan luas atas paham demokrasi dan paham nomokrasi.
Dengan maksud mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh keadaban, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum seharusnya didesain untuk hadir saling mengisi alias demokrasi dan nomokrasi tidak boleh hadir dalam posisi saling menegasikan. Dengan posisi demikian, buku ini mampu memberikan penjelasan dengan lebih sederhana bagaimana titik temu antara demokrasi dan nomokrasi dalam bangunan demokrasi konstitusional Indonesia. Misalnya, bagaimana penulis menjelaskan titik temu demokrasi dan nomokrasi menghasilkan negara hukum yang demokratis sebagai berikut:
“Apabila demokrasi dan nomokrasi dianut bersama-sama dalam suatu negara, keduanya akan menghasilkan negara hukum yang demokratis. Dari sisi pemahaman kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Kekuasaan tertinggi di tangan rakyat tersebut dibatasi oleh kesepakatan yang ditentukan oleh mereka sendiri secara bersama-sama, yang dituangkan dalam aturan hukum…”. Aturan hukum membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan pemerintahan. Inilah kemudian berkembang menjadi doktrin negara hukum.”
“Dalam negara hukum yang demokratis terkadang makna demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan substansi hukum itu sendiri ditentukan dengan cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi.”
Kutipan tersebut memberikan gambaran bagaimana penulis memberikan ilustrasi titik singgung atau arsiran antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Apabila diletakan ke dalam UUD 1945 hasil perubahan, titik singgung tersebut bertemu pada perumusan Alinea IV UUD 1945 yang menyatakan, “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”. Tidak berhenti pada Pembukaan UUD 1945, gagasan tersebut dituangkan lebih lanjut dalam pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Titik singgung tersebut terasa memiliki makna dan kekuatan lebih karena hadirnya Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Kedua, arsiran antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum tidak hanya terbatas pada penjelasan konsep sederhana yang mudah dipahami, penulis juga mengelaborasi pada praktik hubungan antar-lembaga negara. Misalnya, bagaimana kemampuan penulis mengurai pola relasi antara DPR dan Presiden (pemerintah) dalam proses membentuk undang-undang. Sekalipun desain fungsi legislasi pada pasal 20 UUD 1945 berbeda dengan pola legislasi yang umummya dipraktikkan dalam sistem presidensial, penulis melihat sisi positif hadirnya pasal ini terutama dalam membangun checks and balances antara DPR dan pemerintah.
Bahkan jika diletakan dalam konteks kekuasaan tidak boleh menumpuk pada satu lembaga, mekanisme check and balances itu semakin kelihatan dengan adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilai konstitusionalitas undang-undang yang dihasilkan DPR dan presiden. Desain check and balances itu menjadi keniscayaan karena sebagai hasil dari proses politik, tidak tertutup kemungkinan hadir undang-undang yang opresive atau despotic. Bahkan terkait dengan kemungkinan itu, Jeremy Waldron dalam “The Dignity of Legislation” menyatakan: legislation and legislatures have a bad name in legal and political philosopy, a name sufficiently disreputable to cast doubt on their credentials as respectable source of law. Tidak hanya kecurigaan tersebut, juga kemungkinan adanya undang-undang yang bertentangan dengan hukum dasar. Gagasan menilai konstitusionalitas atau keabsahan konstitusional ini kemudian melahirkan judicial review.
Ketiga, buku ini memang berasal dari tulisan ilmiah populer yang dimuat pada Harian Seputar Indonesia, namun apabila dilihat dari cara penulisan dan pemaparan, tulisan tersebut berbeda dengan karya ilmiah populer lainnya. Jamak diketahui, sebuah karya ilmiah populer yang dimuat dalam media cetak (baik majalah maupun koran) lebih banyak merespon situasi yang berkembang (up to date). Karenanya, begitu situasi menjadi perdebatan mereda, tulisan ilmiah populer menjadi kehilangan urgensi. Bahkan, acapkali tulisan-tulisan demikian hanya hadir merespon perkembangan temporer.
Merujuk pengalaman itu, kelebihan kumpulan tulisan dalam buku ini, tidak terjebak untuk memenuhi perkembangan sesaat. Meski demikian, tidak berarti bahwa tulisan penulis sama sekali tidak merespon perkembangan yang ada. Bedanya dengan tulisan lain yang lebih mementingkan nilai up to date, penulis mampu mengemas dengan cara penulisan yang tidak begitu terpengaruh dengan persoalan sesaat. Kemampuan mengemukakan substansi yang long-lasting itu menjadikannya seperti bukan berasal dari tulisan populer yang sebelumnya telah dipublikasikan dalam media cetak.
Keempat, selain kemampuan menghadirkan tulisan yang long-lasting, penulis mampu menguraikan pemikirannya dengan pemaparan yang tidak emosional. Bagi sementara pihak, cara penulisan yang demikian mungkin menjadi semacam kelemahan. Meski begitu, sisi yang dipilih penulis bukan pada soal kontroversi tetapi lebih pada tawaran pemikiran di tengah lautan perdebatan masalah hukum dan ketatanegaraan. Paling tidak, bahasa tidak emosional itu dapat dibaca dalam tulisan yang merespon artikel seorang petinggi hukum. Karena bahasa yang dipilih terkesan sangat teduh, sang petinggi hukum tidak memberikan respon balik atas tanggapan penulis.
Kelima, pada batas-batas tertentu, penulis memiliki semacam legitimasi sejarah untuk membahas demokrasi konstitusional di negeri ini. Terlepas dari posisi saat ini, saat mengabdi di MPR, yang bersangkutan pernah menjadi bagian dari proses perubahan konstitusi. Karena sentuhan sejarah ini, rekaman masa lalu menjadi bagian yang dapat memberi nilai-guna jika dikaitkan dengan dinamika kenegaraan kekinian. Boleh jadi, tidak semua rekaman yang ada memiliki kebenaran mutlak, namun keterlibatan sejarah itu menjadi nilai tambah yang belum tentu memiliki minat di dunia tulis menulis.
Namun catatan yang tersisa, kumpulan tulisan dalam buku ini belum dapat membaca secara komprehensif pemikiran penulis atas gagasan dan praktik demokratisasi konstitusional Indonesia. Karenanya, menjadi layak mendorong penulis menghadirkan sebuah buku dengan standar akademik yang ketat.
Pada bagian akhir, Prof. Saldi Isra menyampaikan, “terlepas dari itu semua, saya menyambut gembira penerbitan buku ini. Tidak hanya sebatas menambah literatur hukum tata negara, buku ini harus mampu merangsang kalangan lain untuk terus mendalami isu-isu demokrasi konstitusional terutama setelah perubahan UUD 1945. Pak Janed, dengan hadirnya buku ini, Anda berhak menerima ucapan selamat…!!!"
Secara keseluruhan isi buku ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama diberi sub judul “Demokrasi Konstitusional”, terdiri dari sebelas tulisan. Bagian Kedua diberi sub judul “Praktik Ketatanegaraan Setelah Perubahan UUD 1945”, terdiri dari 19 tulisan. Selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
Bagian Pertama
Demokrasi Konstitusional
- Konsep Negara Hukum yang Demokratis
- Negara Demokrasi Konstitusional
- Revitalisasi Pancasila
- Dinamika Implementasi Demokrasi dan Nomokrasi
- Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
- Potret Demokrasi di Indonesia
- Upaya Meningkatkan Kualitas Demokrasi
- Demokratisasi Pembentukan Undang-Undang
- Peran Konstitusional Partai Politik
- Harapan untuk DPR Baru
- Berhukum yang Pancasilais
Praktik Ketatanegaraan Setelah Perubahan UUD 1945
- Supremasi Konstitusi
- Konstitusi sebagai Pemersatu
- Domestikasi UUD 1945
- Penataan Lembaga Negara
- Hubungan Antar-Lembaga Negara
- Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan RI
- Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial
- Sistem Pemerintahan dan Kepartaian
- Penegakan Hukum dan Keadilan
- Hukum Harus Diskriminatif?
- Kekuasaan Kehakiman Pasca Reformasi
- Kekuasaan Membentuk Undang-Undang
- Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
- Impeachment
- Checks and Balances dalam Sistem Presidensial
- Konstitusionalitas Penyelenggaraan Negara
- Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara
- Pembatasan Hak Warga Negara
- Kontroversi Perubahan Konstitusi
Judul Buku:
Demokrasi Konstitusional— Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
Penulis:
Dr. Janedjri M. Gaffar
Penerbit:
Konstitusi Press (Konpres)
Tahun Terbit:
Cetakan I, Oktober 2012
0 komentar
EmoticonEmoticon